
Perempuan adalah tulang punggung di perkebunan teh Ciliwung. Mereka adalah kekuatan yang menopang keluarga. Pagi sebelum matahari terbit Kartini dari kebun teh itu sudah memotong daun-daun teh. dipetik untuk dipersembahkan pada tuan besar di Eropa dan Amerika. Sehari, dari hasil memetik teh, Kartini itu hanya mengatungi 2500 perak saja.
Sesampainya di rumah, Kartini harus memasak dan mengurusi anak-anak. Mereka bukan hanya hidup. Kartini dari kebun teh berjuang untuk keluarganya. Demikialah realitas kemiskinan itu. Harusnya ada tanggungjawab kepantasan. Kemiskinan, penghinaan atas hak hidup manusia perempuan tumbuh bersama hijaunya daun teh.
Manakala senja datang, anak-anak sudah berangkat tidur. Kartini "harus" menimang dan "menggembirakan" suaminya. Ironika ini berubah menjadi sarkasme. dan sepanjang peradaban akankah terus begini. Kuncinya adalah pendidikan. Peluang itu tidak bisa ditunggu. Perubahan harus dimulai dari bangku-bangku kelas.
Kartini kecil berlari menuju kehidupan. Ini tidak berhenti sampai daun teh dikeringkan, dan diseruput oleh toean dan njonja di Eropa dan Amerika. Kartini di sini mati sebelum pagi menjelang.
No comments:
Post a Comment